banner8.gif
« »
« »
« »
« »
« »
Ad Ad Ad pasang iklan pasang iklan

Minggu, 22 April 2012

ZIARAH KUBUR

-Ziarah Kubur-
Kelompok Wahaby (Jama’ah Takfiri) yang menyandarkan pendapatnya pada fatwa Ibnu Taimiyah menyatakan akan pengharaman ziarah kubur. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid: 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadis yang lemah (Dzaif), bahkan dibikin-bikin (Ja’li) ”. Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadis lemah, bahkan hadis bohong”. Ungkapan Ibnu Taimiyah ini diikuti secara fanatik dan membeo oleh semua ulama Wahaby, termasuk Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama-ulama Wahaby lainnya. Selain itu, mereka berdalih dengan beberapa ayat al-Quran dan hadis yang sama sekali tidak bisa diterapkan kepada kaum muslimin.
Sekarang kita akan lihat, betapa yang diomongkan oleh Ibnu Taimiyah dan antek-anteknya dari kelompok Wahaby tersebut merupakan kebatilan dan tidak berlandaskan al-Quran dan hadis sahih maupun prilaku Salaf Saleh. Dalil mereka yang disandarkan pada ayat 84 dari surat at-Taubah, dimana Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya”. Kaum Wahaby menganggap bahwa ayat itu membuktikan akan pelarangan ziarah kubur secara mutlak. Padahal, mayoritas ulama Ahlusunah yang menafsirkan ayat tadi dengan tegas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum munafik, bukan kaum muslim, apalagi kaum mukmin. Jadi ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni kubur itu adalah seorang muslim dan mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur tadi tergolong kekasih (Wali) Allah swt. Al-Baidhawi dalam kitab Anwarut Tanzil jilid 1 halaman 416 dan al-Alusi dalam kitab Ruhul Ma’ani jilid 10 halaman 155 dalam menafsirkan ayat tadi menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk penghuni kubur yang tergolong kaum munafik dan kafir. Lantas bagaimana mungkin orang seperti Ibnu Taimiyah beserta kelompok Wahabi memutlakkannya yang berarti mencakup segenap kaum muslimin secara keseluruhan, hatta mencakup kuburan wali Allah? Apakah Ibnu Taimiyah dan kaum Wahabi telah menganggap bahwa segenap kaum muslimin dihukumi sama dengan kaum kafir dan munafik? Apakah hanya yang meyakini akidah Ibnu Taimiyah saja yang dianggap muslim dan monoteis (Muwahhid) sejati? Jelas ini sebagai bukti bahwa Ibnu Taimiyah dan kelompok Wahaby telah menvonis kaum muslimin selainnya sebagai orang kafir yang sesat.
Kemudian akan kita lanjutkan argumentasi kita dengan menggunakan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab-kitab standart dan karya para ulama terkemuka Ahlusunah wal Jamaah. Dalam kitab-kitab hadis disebutkan bahwa Nabi bukan hanya tidak melarang umatnya untuk menziarahi kubur, bahkan beliau menganjurkan hal tersebut, guna mengingat kematian dan akherat. Hal itu dikarenakan dengan ziarah kubur manusia akan mengingat akherat. Dan dengan itu akan meniscayakan manusia beriman untuk semakin ingat dengan Tuhannya. Dalam kitab Sahih Muslim jilid 2 halaman 366 Kitab al-Jana’iz (Jenazah) yang diriwayatkan dari Buraidah al-Aslami dimana dia mengatakan bahwa Rasul pernah bersabda: “Dahulu aku melarang kalian untuk menziarahi kubur, namun (Allah) telah memberi izin kepada Muhammad untuk melakukannya sehingga dapat menziarahi kubur ibunya. Berziarah-kuburlah kalian karena hal itu akan menjadikan kalian mengingat akherat! ”. Dari hadis ini jelaslah bahwa Nabi pernah melarang ziarah kubur namun lantas membolehkannya setelah turunnya pensyariatan (legalitas) ziarah kubur dari Allah swt Dzat Penentu hukum (Syari’ al-Muqaddas). Jadi jelas bahwa ziarah kubur merupakan sesuatu yang syar’i (legal). Lantas apakah orang seperti Ibnu Taimiyah akan meragukan kesahihan Sahih Muslim sehingga ia mengatakan bahwa legalitas ziarah kubur merupakan kebohongan? Jika menziarahi kubur muslim biasa saja diperbolehkan secara syariat lantas apa alasan Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa menziarahi kubur manusia agung seperti Muhammad Rasulullah saw yang merupakan kekasih sejati Allah pun adalah kebohongan dan diharamkan?
Kita kembali akan mengecek kebenaran klaim Ibnu Taimiyah dan kelompok Wahaby yang mengaku sebagai orang-orang yang ingin menghidupkan ajaran Salaf Saleh. Dalam masalah ziarah kubur ternyata para sahabat yang termasuk jajaran utama Salaf Saleh telah melakukannya. Dalam kitab Mustadrak alas shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadis ke-1392 dinyatakan dari Ibnu Abi Malikah bahwa suatu hari ia pernah mendapati ummul mukminin Aisyah memasuki tempat pemakaman, lantas ia (Ibnu Abi Malikah) bertanya: “Kenapa engkau memasuki pekuburan?” Ummul mukminin Aisyah menjawab: “Karena untuk menziarahi kubur saudaraku, Abdurrahman”. Lantas kukatakan: “Bukankah Nabi pernah melarang untuk menziarahi kubur?” Aisyah menjawab: “Ya, dahulu beliau melarangnya namun setelah itu beliau memerintahkannya”. Bukan hanya al-Hakim an-Naisaburi, ternyata Muhibbuddin at-Thabari pun dalam kitab-nya yang berjudul ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2 halaman 330 menyebutkan bahwa; suatu saat, ketika Umar bin Khatab (Khalifah kedua Ahlusunah) bersama beberapa sahabatnya pergi untuk melaksanakan ibadah haji di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang tua yang meminta tolong kepadanya. Sepulang dari haji kembali ia melewati tempat dimana orang tua itu tinggal dan menanyakan keadaan orang tua tadi. Penduduk daerah itu mengatakan: “Ia telah meninggal dunia”. Perawi berkata: “Kulihat Umar bergegas menuju kuburan orang tua itu dan di sana ia melakukan shalat. Kemudian dipeluknya kuburan itu sambil menangis”. Sekarang, beranikah orang seperti Ibnu Taimiyah menvonis Umar bin Khatab yang shalat dan menangis di depan kuburan orang tua itu sebagai seorang yang musyrik? Beranikah Ibnu Taimiyah dan kelompok Wahaby mengatakan bahwa ummul mukminin Aisyah dan Umar bin Khattab telah melakukan hal illegal yang tanpa dasar (bid’ah)? Beranikah Ibnu Taimiyah dan antek-anteknya dari kelompok Wahaby mengatakan bahwa shalat, berdoa dan tangisan Umar bin Khatab di sisi kuburan orang tua tadi merupakan perbuatan Syirik? Mungkinkah khalifah kedua dan ummul mukiminin Aisyah melakukan syirik, perbuatan yang paling dibenci oleh Allah? Bukankah mereka berdua adalah tokoh dari Salaf Saleh yang konon ajarannya akan dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah, lantas kenapa Ibnu Taimiyah berfatwa tidak sesuai dengan ajaran mereka berdua? Jika benar bahwa Ibnu Taimiyah dan kelompok Wahaby memiliki misi untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf Saleh maka hendaknya mereka membolehkan berziarah kubur, melaksanakan shalat di sisi kuburan dan atau menangis di samping kubur sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khatab (khalifah kedua)!
Tidak cukup dengan sabda Rasul dan prilaku Salaf Saleh (Sahabat Nabi), di sini akan kita sebutkan beberapa fatwa para Imam mazhab fikih Ahlusunah wal Jamaah yang membuktikan bahwa ziarah kubur diperbolehkan, sebagai penguat dalil kita. Tentu mereka semua menfatwakan atas dasar al-Quran dan al-Hadis, bukan atas dasar kecenderungan hawa nafsu mereka. Dalam kitab Makrifatul as-Sunan wal Atsar jilid 3 halaman 203 bab ziarah kubur disebutkan bahwa Imam Ibnu Idris as-Syafi’i telah mengatakan: “Ziarah kubur hukumnya tidak apa-apa. Namun sewaktu menziarahi kubur hendaknya tidak mengatakan hal-hal yang menyababkan murka Allah”. Al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Ala as-Shahihain jilid 1 halaman 377 menyatakan: “Ziarah kubur merupakan sunah yang sangat ditekankan”. Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam kitab-kitab para ulama dan tokoh Ahlusunah seperti Ibnu Hazm dalam kitab al-Mahalli jilid 5 halaman 160, Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin jilid 4 halaman 531, Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fikh alal Madzahibil Arba’ah jilid 1 halaman 540 (dalam penutupan kajian ziarah kubur), dan banyak lagi ulama Ahlusunah lainnya. Atas dasar itulah Syeikh Manshur Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid 1 halaman 381 menyatakan: “Menurut mayoritas Ahlusunah dinyatakan bahwa ziarah kubur adalah sunah”. Lantas masihkah orang seperti Ibnu Tamiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Ibnu Qayyim al-Jauzi, Aali as-Syeikh, Ibnu Baz dan gerombolan Wahaby lain yang mengaku Salafy itu mengatasnamakan dirinya sebagai penghidup ajaran Salaf Saleh dan pengikut Ahlusunah wal Jamaah padahal pernyataan mereka sama sekali tidak sesuai dengan al-Quran, sunah Nabi, prilaku Salaf Saleh dan ulama Ahlusunah wal Jamaah sendiri? Tidak malukah mereka mengaku sebagai Salafy dan Ahlusunah? Semoga Allah swt membuka aib-aib para kelompok Wahaby di dunia sebelum kehidupan di akherat kelak, terkhusus jika praktik pengkafiran kelompok lain –selain Wahaby- masih terus mereka lancarkan.
Wallahu a’lam



-Perempuan dan Ziarah Kubur-
Salah satu permasalahan penting yang difatwakan secara brutal oleh kelompok Wahaby adalah pelarangan secara mutlak ziarah kubur bagi kaum perempuan. Hal ini nampak jelas sekali sebagaimana yang mereka lakukan terhadap jamaah haji perempuan yang datang menziarahi makam Rasulullah ataupun pemakaman-pemakaman sahabat di Baqi’ yang terletak di kota di Madinah, ataupun Ma’la di kota Makkah. Abdul Aziz bin Baz seorang mufti Saudi Arabia dalam kitab Majmu’atul Fatawa Bin Baz jilid 2 halaman 757 dengan tegas menyatakan: “Bagi wanita dilarang untuk menziarahi kubur. Hal itu karena Rasulullah telah melaknat perempuan yang menziarahi kubur”. Benarkah Nabi melarang secara mutlak perempuan untuk menziarahi kubur, ataukah fatwa itu hanyalah pembohongan seorang ulama Wahaby atas nama Rasul saja? Di sini akan kita telaah beberapa dalil tentang pembolehan ziarah kubur oleh kaum perempuan.
Adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra jilid 4 halaman 131, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf Abdurazaq jilid 3 halaman 572/574 dan dalam kitab Mustadrak alas Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadis ke-1392 dinyatakan dari Ibnu Abi Malikah bahwa suatu hari ia pernah menjumpai ummul-mukminin Aisyah memasuki tempat pemakaman, lantas ia bertanya kepadanya: “Kenapa engkau memasuki pekuburan?”. Ummul mukminin Aisyah menjawab: “Karena untuk menziarahi kubur saudaraku, Abdurrahman”. Lantas kukatakan: “Bukankah Nabi pernah melarang untuk menziarahi kubur?” Aisyah menjawab: “Ya, dahulu beliau melarangnya namun setelah itu beliau bahkan memerintahkannya”. Dalam kedua kitab -yang sama- tadi juga disebutkan perihal ziarah kubur yang dilakukan oleh Siti Fathimah, puteri tercinta Rasulullah. Disebutkan bahwa Siti Fathimah hampir setiap minggu dua atau tiga kali mesti menziarahi para syuhada perang Uhud, terkhusus paman beliau Hamzah.
Kaum Wahaby yang terkenal memiliki hoby mensyirikkan dan membid’ahkan perbuatan kelompok muslimin lainnya menyandarkan fatwa mereka dengan hadis Rasul yang diriwayatkan oleh para pemiliki kitab-kitab sunan -kecuali Bukhari dan Muslim- dimana hadis itu berbunyi: “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” (Lihat kitab Mushannaf Abdur Razzaq jilid 3 halaman 569).
Lantas sekarang kita akan meneliti akan kebenaran fatwa kaum Wahaby yang menyandarkan semua fatwa-nya tentang ziarah kubu bagi kaum perempuan atas hadis tersebut. Ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam menggunakan hadis ini sebagai dalil:
Pertama: Hadis Rasul di atas yang menyatakan “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” telah dihapus (mansukh) dengan riwayat-riwayat yang telah disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra, Abdurrazaq dalam kitab Mushannaf dan al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Alas Shahihain yang telah disebutkan di atas. Selain itu nampak sekali pertentangan antara dua bentuk riwayat tadi dimana satu menyatakan bahwa perempuan akan dilaknat jika melakukan ziarah namun yang satunya lagi menyatakan bahwa Rasul telah memerintahkan umatnya untuk menziarahi kubur. Umat Rasul di sini mencakup lelaki dan perempuan. Jelas sekali kaum Wahabi tidak bisa menyatakan bahwa hadis yang menjelaskan Aisyah telah menziarahi kubur saudaranya dengan mengatakan: “Dahulu Rasul telah melarang menziarahi kubur, namun setelah itu beliau memerintahkannya”, adalah hadis lemah. Hal itu dikarenakan adz-Dzahabi telah menyatakan kesahihannya sebagaimana yang telah tercantum dalam catatan kaki yang ia tulis dalam kitab Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi tersebut. (Lihat: Mustadrak al-Hakim an-Naisaburi Jil:1 Hal: 374)
Kedua: Selain terdapat pertentangan antara hadis tadi (pelarangan ziarah kubur oleh kaum perempuan) dengan hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah telah menziarahi makam saudaranya (Abdurrahman) ataupun Siti Fathimah yang menziarahi syuhada Uhud, lantas apakah mungkin perempuan mulia seperti Siti Fathimah putri Rasulullah akan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perintah ayahnya? Dan apakah mungkin ummul mukminin Aisyah yang istri Rasul telah melakukan perbuatan tadi untuk menentang ajaran suaminya? Apakah mungkin Siti Fathimah putri Rasul dan Aisyah istri Rasul akan mendapat laknat Allah yang tentu kaum Wahaby mengetahui konsekuensi dan makna dari pelaknatan Allah tersebut? Beranikah kaum Wahaby mengatakan hal itu –bahwa Fathimah dan Aisyah tergolong wanita terlaknat- secara terang-terangan, jika memang benar bahwa penziarah kubur perempuan dapat laknat Allah?
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Siti Fathimah selalu melakukan ziarah kubur para syuhada sewaktu ayahnya (Rasulullah) masih hidup, dimana hal itu berjalan selama kurang lebih tujuh tahun. Pernyataan ini telah tercantum dalam kitab Irsyad as-Saary jilid 3 halaman 352. Jika memang ziarah kubur buat perempuan merupakan hal yang haram karena menyebabkan laknat Allah, lantas kenapa Rasulullah tidak melarang putrinya untuk meninggalkan ziarah kubur para syuhada? Apakah mungkin Rasul berbuat pilih kasih dalam masalah penerapan hukum Allah sehingga hadis pelarangan ziarah buat kaum perempuan tadi sama sekali tidak berlaku buat keluarganya, Siti Fathimah?
Ketiga: Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam kitab Irsyad as-Saary jilid 3 halaman 352, Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Sewaktu Rasul dimakamkan, Fathimah duduk di sisi makam ayahnya dan mengambil segenggam tanah (kuburan) dan meletakkannya di hadapan pelupuk matanya sambil menangis ia mengungkapkan syair…”. Jika semua para sahabat yang termasuk Salaf Saleh mengetahui betul hukum pengharaman ziarah kubur buat seorang perempuan, lantas apakah mungkin Ali bin Abi Thalib membiarkan istrinya melakukan sesuatu yang menyebabkan laknat Allah? Atau, kenapa para sahabat yang turut hadir di situ –selain Ali- tidak melakukan amar makruf nahi munkar jika memang ziarah kubur buat perempuan merupakan hal haram yang menyebabkan laknat Allah? Apakah kaum Wahaby berani mengatakan bahwa Fathimah dengan dukungan Ali dan para sahabat Rasul lainnya –yang masuk kategori Salaf Saleh- telah tergolong penyembah kubur (Quburiyuun)?
Keempat: Poin terakhir ini adalah yang paling menentukan, meneliti sanad (urutan perawi) hadis. Jika kita telaah lebih detail lagi, ternyata sanad hadis “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” yang disebutkan tadi melalui tiga jalur utama;
A. Hassan bin Tsabit.
B. Ibnu Abbas.
C. Abu Hurairah.
Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 502 menukil hadis tersebut melalui ketiga jalur tadi. Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 menukil hadis tersebut melalui dua jalur saja; Hassan bin Tsabit (Lihat jilid 3 halaman 442) dan Abu Hurairah (Lihat jilid 3 halaman 337/356). At-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 2 halaman 370 hanya menukil dari jalur Abu Hurairah saja. Abu Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud jilid 3 halaman 317 hanya menukil melalui jalur Ibnu Abbas saja. Sedang Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadis itu sama sekali. Tidak ada kesepakatan di antara para penulis kitab as-Sunan dalam menukil hadis tersebut jika dilihat dari sisi jalur sanad hadisnya. Ibnu Majah, Imam Ahmad bin Hanbal dan Turmudzi sepakat meriwayatkan melalui jalur Abu Hurairah. Sedang jalur Hassan bin Tsabit hanya dilalui oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad saja. Sebagaimana jalur Ibnu Abbas hanya dilalui oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
(a) Dari jalur pertama yang berakhir pada Hassan bin Tsabit –yang dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad- terdapat pribadi yang bernama Abdullah bin Usman bin Khatsim. Semua hadis yang diriwayatkan olehnya dihukumi tidak kuat. Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daruqi dari Ibnu Mu’in. Ibnu Abi Hatim sewaktu berbicara tentang Abdullah bin Usman tadi menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Usman tidak dapat dijadikan dalil. An-Nasa’i dalam menjelaskan kepribadian Ibnu Usman tadi mengatakan: “Ia sangat mudah meriwayatkan (menganggap remeh periwayatan .red) hadis” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 459). Dan melalui jalur tersebut juga terdapat pribadi seperti Abdurrahman bin Bahman. Tidak ada yang meriwayatkan hadis darinya selain Ibnu Khatsim. Ibnu al-Madyani mengatakan: “Aku tidak mengenal pribadinya” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 551).
(b) Dari jalur kedua yang berakhir pada Ibnu Abbas terdapat pribadi seperti Abu Shaleh yang aslinya bernama Badzan. Abu Hatim berkata tentang dia: “Hadis-hadis dia tidak dapat dipakai sebagai dalil”. An-Nasa’i menyatakan: “Dia bukanlah orang yang dapat dipercaya”. Ibnu ‘Adi mengatakan: “Tak seorang pun dari para pendahulu yang tak kuketahui dimana mereka tidak menunjukkan kerelaannya (ridho) terhadap pribadinya (Badzan)” (Lihat kitab Tahdzib al-Kamal jilid 4 halaman 6).
(c) Dari jalur ketiga yang berakhir pada Abu Hurairah terdapat pribadi seperti Umar bin Abi Salmah yang an-Nasa’i mengatakan tentang dirinya: “Dia tidak kuat (dalam periwayatan .red)”. sedang Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Hadisnya tidak dapat dijadikan dalil”. Sedang Ibnu Mu’in mengatakan: “Dia orang yang lemah”. Dan Abu Hatim menyatakan: “Hadisnya tidak dapat dijadikan dalil” (Lihat kitab Siar A’lam an-Nubala’ jilid 6 halaman 133).
Mungkin karena sanad hadisnya tidak sehat inilah akhirnya Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadis tadi. Bukankah dua karya besar itu memiliki gelar shahih sehingga terhindar dari hadis-hadis yang tidak jelas sanadnya? Melihat hal-hal tadi maka hadis pelarangan ziarah kubur buat perempuan di atas tadi tidak dapat dijadikan dalil pengharaman. Masihkah kaum Salafy palsu yang pada hakekatnya adalah kelompok Wahaby (pengikut Muhammad bin Abdul Wahab) masih melarang para perempuan untuk berziarah kubur sebagaimana yang dialami kaum wanita pelaksana haji di Makkah dan Madinah, dua tempat suci yang dikuasai oleh kelompok sesat tersebut?
Aneh memang, kenapa para pengikut Wahaby masih berpegangan pada hadis tersebut padahal salah seorang ulama mereka yang bernama Nashiruddin al-Bani –ahli hadis Wahaby- pernah menyatakan tentang hadis pelaknatan penziarah wanita tadi dengan ungkapan: “Di antara sekian banyak hadis tidak kutemui hadis-hadis yang menguatkan hadis tadi. Sebagaimana tidak kutemui hadis-hadis lain yang dapat memberi kesaksian atas hal tersebut. Hadis ini adalah penggalan dari hadis: “Laknat Allah atas perempuan-perempuan yang menziarahi kubur dan orang-orang yang menjadikannya (kuburan) sebagai masjid dan tempat yang terang benderang” yang disifati sebagai hadis lemah (Dza’if). Walaupun sebagian saudara-saudara dari pengikut Salaf (baca: Wahaby) suka menggunakan hadis ini sebagai dalil. Namun saya nasehatkan kepada mereka agar tidak menyandarkan hadis tersebut kepada Nabi. Karena hadis itu adalah hadis yang lemah” (Lihat kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah wa Atsaruha as-Salbi fil Ummah halaman 260). Lantas kenapa kaum Wahaby masih saja memakai hadis tersebut untuk menvonis saudara-saudara mereka sesama muslim dengan sebutan penghamba qubur (Quburiyuun), bahkan ngotot menyatakan bahwa ziarah kubur bagi perempuan adalah haram menurut ajaran Rasul dan para Salaf Saleh? Bukankah ini salah satu bentuk kebohongan atas nama Rasul dan Salaf Saleh? Kenapa mereka tidak berterus terang bahwa fatwa pengharaman itu hanya bersumber dari Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Aali as-Syeikh, Bin Baz dan ulama-ulama Wahaby lainnya yang berada di dataran Saudi Arabia saja?
Kajian terakhir kita kali ini adalah mengungkapkan beberapa pendapat ulama Ahlusunah perihal diperbolehkan ziarah oleh kaum perempuan. Al-Qasthalani mengatakan: “Bagi perempuan menziarahi kubur Nabi yang mulia tidak dihukumi makruh, bahkan disunahkan”. Ibnu ar-Rif’ah dan al-Qummali menyatakan: “Selayaknya disunahkan bagi perempuan untuk menziarahi segenap kuburan” (Lihat kitab Irsyadus Saari jilid 3 halaman 400). Ibnu Abdil Bar mengatakan: Abu Bakar mengatakan: Aku mendengar seseorang menanyakan kepada Abu abdillah (Ahmad bin Hanbal) perihal perempuan yang menziarahi kubur. Beliau menjawab: “Aku berharap insya-Allah perbuatan yang dilakukannya tidak bermasalah”. Lantas ditanyakan kepadanya: Aisyah selalu menziarahi makam saudaranya? Ia menjawab: “Akan tetapi terdapat hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang dari Rasul dimana beliau melaknat perempuan yang menziarahi kubur”. Selepas itu sipenanya menambahkan: “Dari sisi sanad riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas tadi terdapat orang seperti Abu Shaleh, lantas bagaimana? Dengan ungkapan ini seakan dalam rangka melemahkannya. Lantas ia menjawab: “Aku berharap bahwa Aisyah memang benar-benar menziarahi saudaranya” (Lihat kitab at-Tamhid fi Syarhi al-Muwattha’ jilid 3 halaman 234). Walau seakan nampak imam Ahmad bin Hanbal masih memegang hadis pelaknatan tadi namun ia pun merasa bahwa jika benar Aisyah melakukan penziarahan tersebut berarti apa yang dilakukan Aisyah adalah sebaik-baik dalil dalam mengungkap hakekat hukum penziarah kubur dari kalangan perempuan. Hal itu dikarenakan selain Aisyah sebagai istri Rasul yang bergelar ummul mukminin (ibu kaum mukmin) sekaligus sebagai Salaf Saleh. Karena Salaf Saleh tidak hanya dikhusukan buat sahabat dari kaum lelaki saja, namun mencakup kaum perempuaan juga (shahabiyah).
Kalaupun kita masih toleran untuk menerima hadis pelaknatan tersebut maka yang harus dilakukan adalah melihat sebab-sebab keluarnya riwayat tersebut (Asbabul Wurud al-Hadis). Sebagian dari ulama Ahlusunah menyatakan bahwa hadis pelaknatan tersebut lebih dikarenakan sebagian wanita tidak memiliki kesabaran sewaktu menziarahi kubur. Mereka akan menangis sejadi-jadinya sehingga melupakan yang lain, termasuk batasan hukum Allah. Wanita penziarah kubur semacam inilah yang akan terkena laknat Allah swt. Tentu, penerapan hukum dari hadis tadi untuk segenap kaum perempuan penziarah (generalisasi hukum) merupakan salah besar. Dikarenakan tidak semua perempuan melakukan hal buruk tadi. Hal inilah yang dinyatakan dalam kitab at-Taajul Jami’ lil Ushul jilid 2 halaman 381, atau kitab Mirqotul Mafatih karya Mula Ali Qori jilid 4 halaman 248. Bahkan dinyatakan bahwa sewaktu Rasul membolehkan dan bahkan menekankan kepada umatnya untuk menziarahi kubur, hal itu berarti mencakup kaum perempuan juga. Walau dalam hadis tadi Rasul menggunakan kata ganti (Dhamir) lelaki, namun hal itu tidak lain dikarenakan hukum kebanyakan (Taghlib) pelaku ziarah tersebut adalah dari kaum lelaki. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Mula Ali Qori dalam kitab Mirqotul Mafatih jilid 4 halaman 248 dan at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3 halaman 372 hadis ke-1056. Dan kalaupun kita harus berbicara tentang jumlah obyek yang diajak bicara (mukhatab), terbukti dalam tata bahasa Arab walau ada seribu perempuan dan lelaki hanya segelintir saja jumlahnya maka kata ganti yang dipakai untuk berbicara kepada semua –yang sesuai dengan tata bahasa yang baik dan benar- yang hadir tadi adalah menggunakan kata ganti lelaki. Dan masih banyak ulama Ahlusunah lain yang menyatakan pembolehan ziarah kubur oleh kaum perempuan. Tetapi kenapa hingga saat ini para ulama dan mufti Wahaby yang berkuasa di Arab Saudi mengharamkan perempuan untuk memasuki wilayah pemakaman Baqi’ (di Madinah) dan di Ma’la (di Makkah) untuk menziarahi makam para keluarga dan sahabat Rasul? Mana bukti bahwa mereka mengikuti Rasul dan Salaf Saleh dari Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in?
Wallahu a’lam

0 komentar:

Posting Komentar

Ad Ad Ad pasang iklan pasang iklan
KLIK UNTUK MENGINTIP
Fivers