Tata Cara Shalat Tarawih dan Witir( كيفية صلاة الليل )
Indonesia – Indonesian –إندونيسي
Penyusun : Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani,
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
Terjemah : Komar As Su’aidi
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2009 ‐ 1430
( كيفية صلاة الليل)
« باللغة الإندونيسية »
الشيخ ناصر الدين الألباني
الشيخ على حسن علي عبد الحميد والشيخ سليم بن عيد الهلالي
مقتبسة من كتاب: "قيام رمضان " و"صفة صوم النبي ^ في رمضان"
ترجمة: قمر السعيدي
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2009 ‐ 1430
Seputar Sholat Tarawih dan Qunut Witir
Sholat Tarawih
Syaikh Nashiruddin Al-Albani telah menjelaskan perincian tentang
tata cara shalat tarawih dalam kitab “Shalat Tarawih” (hal.101-
105), kemudian disini diringkasnya untuk mempermudah pembaca
dan sebagai peringatan.
Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau
yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah
shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk
membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali,
kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari
sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian
2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat
kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali
pada rakaat kelima.
Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4
rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk
(tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat?
Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam
masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat
tidak disyariatkan !.
Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada
yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan
bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian
berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini
berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.
Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –
pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi
Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut
dalam cara yang telah lalu.
Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam
secara jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu
dengan dikurangi pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki
walaupun tinggal 1 rakaat dalam rangka mengamalkan hadist
Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu
(“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat, barangsiapa
yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang
ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu
Khuzaimah dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah
menyebutkan hadist Aisyah dan yang lainnya pada sebagian caracara
tersebut, maka dibolehkan shalat dengan jumlah yang mana dari
yang diasukai dari yang telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun
padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa
yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala
puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk
menambahi keutamaan-Nya.] [1].
Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk
melakukannya dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali
salam sebagaimana pada cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa
dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti pada cara ketiga dan
yang lain dan itu lebih baik[2]. Adapun shalat yang 5 dan 3 rakaat
denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa salam,
kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi
wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa
sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya
dengan sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib...”
(diriwayatkan At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat
“Shalatut Tarawih” hal 99-110) .
Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari
cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni
pada rakaat kedua –pent).
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh
Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih
Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-
Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Bacaan pada witir yang Tiga rakaat
Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca
pada rakaat pertamanya surat Al-A’la dan kedua membaca surat Al
Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan
terkadang menambahkan dengan surat Al-Alaq dan An-Naas. Telah
terdapat pula dalam riwayat yang shahih bahwa beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat witir dengan 100 ayat
dari surat An-Nisa’. (Riwayat An-Nasai dan Ahmad dengan sanad
yang shahih).
Doa Qunut witir dan tempatnya
Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang
beliau melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali,
yaitu :
َاللَّهُمَّ اهْدِِنيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِِنيْ فِيْمَنْ عَاَفيْتَ، وَتَوَلَِّنيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ،
وَبَا ِ ركْ لِيْ فِيْمَا َأعْ َ طيْتَ، وَقِِنيْ شَرَّ مَا َقضَيْتَ، َفِإنَّكَ تَ ْ قضِيْ وَ َ لا يُ ْ قضَى
عََليْكَ، ِإنَّهُ َ لا يَذِلُّ مَنْ وَاَليْتَ، [وَ َ لا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ]، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا
وَتَعَاَليْت.
“Ya Allah! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah
Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan
apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau
lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau
sayangi. Berilah berkah apa yang Engkau berikan kepadaku,
jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan,
sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha, dan tidak ada
orang yang memberikan hukuman kepadaMu. Sesungguhnya orang
yang Engkau bela tidak akan terhina, dan orang yang Engkau
musuhi tidak akan mulia. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan
Maha Tinggi Engkau.” [HR. Empat penyusun kitab Sunan, Ahmad,
Ad-Darimi, Al-Hakim dan Al- Baihaqi. Sedang doa yang ada di
antara dua kurung, menurut riwayat Al-Baihaqi. Lihat Shahih AtTirmidzi
1/144, Shahih Ibnu Majah 1/194 dan Irwa’ul Ghalil, oleh
Al- Albani 2/172.]
Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku', juga
menambah melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan kaum muslimin
pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, karena telah ada
yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu ‘anhu, yang telah
tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan mereka
melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :
"اللهم قا تل الكفرة الذين يصدون عن سبيلك ويكذبون رسلك، ولا
يؤمنون بوعدك، وخالف بين كلمتهم، وألق في قلوﺑﻬم الرعب، وألق
عليهم رجزك وعذا بك، يا اله الحق"
“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari
jalan-Mu dan mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman
dengan janji-Mu. Cerai beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa
takut pada hati mereka, dan lemparkan adzab-Mu atas mereka
wahai Illah yang haq.”
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu
mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai
melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
َاللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ، وََلكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ، وَِإَليْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُوْ
رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَ َ ذابَكَ، ِإنَّ عَذَابَكَ ِبالْكَافِِريْنَ مُلْحَقٌ. َاللَّهُمَّ ِإنَّا
نَسْتَعِيْنُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُْثِنيْ عََليْكَ الْخَيْرَ، وَ َ لا نَ ْ كُفرُكَ، وَنُؤْمِنُ ِبكَ،
وَنَخْضَعُ َلكَ، وَنَخَْلعُ مَنْ يَكْفُرُكَ.
“Ya Allah! KepadaMu kami menyembah. UntukMu kami melakukan
shalat dan sujud. KepadaMu kami berusaha dan melayani. Kami
mengharapkan rahmatMu, kami takut pada siksaanMu.
Sesungguhnya siksaanMu akan menimpa pada orang- orang kafir.
Ya, Allah! Kami minta pertolongan dan minta ampun kepadaMu,
kami memuji kebaikanMu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami
beriman kepadaMu, kami tunduk padaMu dan berpisah pada orang
yang kufur kepadaMu.” [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra,
sanadnya menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211.
Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya
shahih dan mauquf pada Umar]
Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah
dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).
Yang diucapkan di akhir witir
Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
mengucapkan pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :
وَِبمُعَافَاتِكَ مِنْ عُُقوْبَتِكَ، وََأعُوْذُ َاللَّهُمَّ ِإنِّيْ َأعُوْذُ ِبرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ،
.عََليْكَ َأنْتَ َ كمَا َأثْنَيْتَ عََلى نَفْسِكَ ِبكَ مِنْكَ، َ لا ُأحْصِيْ َثنَاءَ
“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaanMu dari
kemarahanMu, dan dengan keselamatanMu dari siksaMu. Aku
berlindung kepadaMu dari ancamanMu. Aku tidak mampu
menghitung pujian dan sanjungan kepadaMu, Engkau adalah
sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diriMu sendiri.” [HR.
Empat peenyusun kitab Sunan dan Imam Ahmad. Lihat Shahih At-
Tirmidzi 3/180 dan Shahih Ibnu Majah 1/194 serta kitab Irwa’ul
Ghalil 2/175. [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya
menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211. Syaikh Al-
Albani dalam Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan
mauquf pada Umar]
Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :
سُبْحَا َ ن الْمَلِكِ اْلُقدُّوْ ِ س[رَبِّ الْمَ َ لائِ َ كةِ وَالرُّوْ ِ ح] (يجهر ﺑﻬا ويمد ﺑﻬا صوته
يقول 3 مرات)
Subhaanal malikil qudduusi (rabbul malaaikati warruh) tiga kali,
sedang yang ketiga, beliau membacanya dengan suara keras dan
panjang. [HR. An-Nasai 3/244, Ad-Daruquthni dan beberapa imam
hadis yang lain. Sedang kalimat antara dua tanda kurung adalah
tambahan menurut riwayatnya 2/31. Sanadnya shahih, lihat Zadul
Ma’ad yang ditahqiq oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Abdul Qadir Al-
Arnauth 1/337.
Dua rakaat setelah witir
Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari
perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain
lihat “Shalat Tarwih”hala:108-109), bahkan beliau memerintahkan
umatnya dengan sabdanya :
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari
kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat,
jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu
Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah
ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa
memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama,
maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu
saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا “Jadikanlah witir
akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja
bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr
hal:130 )
Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al
Zilzalah dan surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah
(1104,11050 dari hadist Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum
dengan dua sanad yang saling menguatkan)
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh
Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih
Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-
Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Bagaimana Sholat Tarawih Sesuai
Sunnah Rasulullah
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
1. Pensyari'atannya
Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan
hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orangorang
pun ikut shalat bersamanya, dan mereka
memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah
banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat
bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah
banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah
Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam
keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga
beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah
selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat
kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba'du.
Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam,
namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian
tidak mampu mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat
tarawih secara berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan
Muslim 761]
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Rabbnya
(dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti
syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah
disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan
‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar
bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur
Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana
dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-
Qoriy[1] beliau berkata : "Aku keluar bersama Umar bin Al-
Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan
ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada
yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar
berkata : "Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam
satu imam, niscaya akan lebih baik". Kemudian beliau
mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay
bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam,
manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun
berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih
baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal
malam".[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam
riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733]
Footnote:
[1] Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -
tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti
nisa' ibil ... dan seterusnya
2. Jumlah raka'atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat
yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu
'anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari
sebelas raka'at" [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-
Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu
anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at
kemudian witir [Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya
920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr
(Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana
syahidnya.]
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau
mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan
sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115
dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib
bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin
Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan
sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus
ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena
lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" [Furu'
fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata
: "Dua puluh raka'at".
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih),
karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah.
Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya
seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi
hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang
pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits
(1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425.
Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah
perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah
perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan
sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin
Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid :
"Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan
dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika
awal fajar"
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad
bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih
seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka
menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga
selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat
dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah
hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau
diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang
berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa
menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad
bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq
dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad
Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya
tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita
jelaskan sebagai berikut :
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari
seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-
Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang
meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya
ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya,
juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal
1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur
Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits
yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahankesalahan
Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur
Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar,
Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang
lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita
nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia
mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua
puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak
berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal
1/181]
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif),
sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah
yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan
sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid.
Perhatikanlah.
[Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini,
maka lihatlah:
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar]
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii
Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali
Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th
1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah
Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H
0 komentar:
Posting Komentar